Jumat, 01 April 2016



SEJARAH DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: Dr. Rustam Dahar Karnadi



Disusun Oleh:

Fanny Nurus Salam       113811009
Fatmawatur Rohmah    113811010
Laela Noer Faizah         113811011
M. Izzudin Fikri            113811013
Purwowidodo                113811016



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
A.      PENDAHULUAN
Hukum Islam dalam perjalanan panjangnya senantiasa megalami dinamika. Masa perjalanan hukum Islam sendiri sebenarnya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa fase, yaitu masa Rasulullah, masa sahabat dan masa tabi’in, selain itu juga disusul dengan masa tabi’it tabi’in. Pada masa Rasulullah persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam terbilang belum begitu kompleks. Selain itu penetapan suatu hukum atas persoalan yang terjadi masih diserahkan penuh kepada Rasulullah SAW.  Kemudian pasca beliau wafat, persoalan yang dihadapi oleh umat Islam semakin komplek, dan  terkadang suatu permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam pada saat itu belum dijumpai pada zaman Rasulullah. Atas dasar itu lahirlah sebuah ilmu ushul fiqh sebagai jawaban atas persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Jika ditilik lebih jauh lagi, sebenarnya embrio ushul fiqh telah ada sejak Rasulullah masih hidup. Kemudian setelah beliau wafat kajian mengenai ushul fiqh semakin mendapatkan perhatian yang cukup besar besar dari kalangan ahli hukum Islam.
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan mengenai asal dari ushul fiqh. Secara teoritis, ilmu ushul fiqh lebih dahulu lahir dari ilmu fiqh, karena ushul fiqh sebagai alat untuk melahirkan fiqh. Akan tetapi, fakta sejarah menjukkan, ushul fiqh bersamaan lahirnya fiqh. Sedangkan dari segi penyusunannya, ilmu fiqh lebih dahulu lahir dari pada ilmu ushul fiqh.[1] Namun, Terlepas dari hal itu, dalam pembahasan makalah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai hal ikhwal sejarah perkembangan ushul fiqh.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana Periodisasi Embrio Ushul Fiqih pada Masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in?
2.    Bagaimana Latar Belakang Terbentuk dan Tumbuh Berkembangnya Ushul Fiqih?

C.      PEMBAHASAN
1.    Periodisasi Embrio Ushul Fiqih pada Masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in
a.    Periode Nabi
Pertumbuhan  ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman Nabi SAW hingga pada masa tersusunya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 H. Pada zaman Nabi SAW, sumber hukum Islam ada 2, yaitu Alqur’an dan sunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu wahyu yang menjelaskan kasus hukum tersebut. Apabila wahyu tidak turun maka Nabi menetapkan kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadis dan sunah. Dalam menetapkan hukum dari berbagai kasus yang ada di zamanya, ulama ushul fiqh menyimpulkan ada isyarat bahwa Nabi melakukannya melalui ijtihad. Hasil ijtihad Nabi ini secara otomatis menjadi sunnah bagi ummat.
Dalam beberapa kasus, Nabi SAW juga mengaplikasikan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Cara-cara beliau dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh. Oleh sebab itu, para ushuliyyin menyatakan bahwa ushul fiqh itu sendiri bersamaan hadirnya dengan fiqh, yakni sejak zaman Nabi SAW. Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat karena persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang, sedangkan Al-qur’an dan sunnah telah selesai turun seiring dengan wafatnya Nabi SAW.[2]
b.    Periode Sahabat
Pada masa ini kajian tentang fiqih mulai dirumuskan, yaitu setelah wafatnya Rasulullah SAW. Sebab pada masa hidupnya Rasulullah SAW, semua persoalan hukum yang timbul diserahkan kepada Beliau. Meskipun satu atau dua kasus hukum yang timbul terkadang disiasati para sahabat Beliau dengan ijtihad, tetapi hasil akhir dari ijtihad tersebut, dari segi tepat atau tidaknya ijtihad  mereka itu, dikembalikan kepada Rasulullah SAW. Hal ini karena Rasulullah SAW adalah satu-satunya pemegang otoritas kebenaran Agama, melalui wahyu yang diturunkan kepada Beliau.
            Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.
            Contoh cikal bakal ilmu ushul fiqh yang terdapat pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat, antara lain berkaitan dengan ketentuan urutan penggunaan sumber dan dalil hukum, sebagai bagian dari ushul fiqh, misalnya dapat dilihat dari informasi tentang dialog antara Rasulullah SAW dan Mu’az bin Jabal, ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’az ke Yaman.
“ketika Rasulullah SAW bermaksud mengutus Mu’az ke Yaman, beliau bertanya: “ bagaimana kamu memutuskan bila suatu kasus diajukan kepadamu? Ia menjawab: “saya akan putuskan berdasarkan kitab Allah” beliau bertanya lagi: “jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah? ia menjawab: “ saya yakan putuskan berdasarkan sunah Rasulullah SAW ” beliau bertanya lagi: “jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah maupun sunnah Rasulullah?Ia menjawab: “saya akan berijtihad, namun saya tidak akan ceroboh.” beliau berkata sambil menepuk dada Mu’az : “ segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq utusan Rasulullah kepada apa yang di ridhai Rasul itu.”
            Para sahabat Rasulullah SAW selain karena kedekatan mereka kepada Beliau,  mereka juga  menimba banyak pengalaman dari Beliau dan memahami secara mendalam pembentukan hukum Islam (tasyri’), juga karena mereka sendiri memiliki pengetahuan bahasa arab yang sangat baik. Dengan bekal pengalaman dan kemampuan tersebut, maka ketika Rasulullah SAW wafat mereka telah dapat melakukan ijtihad untuk mengatasi masalah kekosongan hukum atas peristiwa-peristiwa baru yang terjadi yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam Alqur’an dan sunnah. Mereka juga tidak banyak mengalami kesulitan memahami ayat-ayat Alqur’an dan maksud sunnah untuk melakukan pengembangan hukum Islam, terutama melalui metode qiyas.
            Langkah-langkah yang ditempuh para sahabat apabila menghadapi persoalan hukum ialah menelusuri ayat-ayat Al qur’an yang berbicara tentang masalah tersebut. Apabila tidak ditemukan hukumnya dalam Al qur’an maka mereka mencarinya di dalam sunnah. Apabila di dalam sunnah pun tidak ditemukan barulah mereka berijtihad.[3]
c.    Periode Tabi’in
Sejalan dengan berlalunya masa sahabat, timbullah masa tabi’in. Pada masa ini, sejalan dengan perluasan wilayah-wilayah Islam, dimana pemeluk Islam semakin heterogen bukan saja dari segi kebudayaan dan adat istiadat lokal, tetapi juga dari segi bahasa, peradaban , ilmu pengetahuan, teknologi dan perekonomian, banyak bermunculan kasus-kasus hukum baru, yang sebagiannya belum dikenal sama sekali pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat. Untuk menjawab kasus-kasus hukum ini, lahir tokoh-tokoh Islam yang bertindak sebagai pemberi fatwa hukum. Mereka ini sebelumnya telah lebih dahulu menimba pengalaman dan pengetahuan di bidang ijtihad dan hukum dari para sahabat pendahulu mereka. Para ahli hukum generasi tabi’in ini, antara lain, Said bin al-Musayyab (15-94H) sebagai mufti di Madinah. Sementara di Irak tampil pula Alqamah bin al-Qais (w. 62H) dan Ibrahim an-Nakha’i (w. 96H), di samping para ahli hukum lainnya.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Alquran dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-Madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas, dan mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
Terhadap sumber rujukan yang baru itu, mereka memiliki kebebasan memilih metode yang mereka anggap paling sesuai. Oleh karena itu, sebagian ulama tabi’in ada yang menggunakan metode qiyas, dengan cara berusaha menemukan ‘illah hukum suatu nashsh dan kemudian menerapkannya pada kasus-kasus hukum yang tidak ada nashsh-nya tetapi memiliki ‘illah yang sama. Sementara sebagian ulama lainnya lebih cenderung memilih metode mashlahah, dengan cara melihat dari segi kesesuaian tujuan hukum dengan kemaslahatan yang terdapat dalam prinsip-prinsip syara’.
Perbedaan cara yang ditempuh oleh kedua kelompok tabi’in ini, terutama timbul karena perbedaan pendapat: apakah fatwa ash-shahabi dapat menjadi dalil hukum (hujjah)? Dan apakah ijma’ ahl al-Madinah merupakan ijma’ sehingga berkedudukan sebagai hujjah qath’iah (dalil hukum yang bersifat pasti)?
Adanya kedua kelompok ulama di atas merupakan cikal bakal lahirnya dua aliran besar dalam ilmu ushul fiqh dan fiqh, yaitu aliran Mutakallimin atau asy-Syafi’iyyah, yang dianut jumhur (mayoritas) ulama, dan aliran fuqaha’ atau hanafiyyah yang pada mulanya berkembang di Irak.[4]
2.    Latar belakang terbentuk dan tumbuh berkembangnya ushul fiqih
Ilmu ushul Fiqih, lahir sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama Hijriyah memang tidak diperlukan karena keberadaan Rasulullah SAW.  masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan ajaran Alqur’an, Sunnah dan apa yang diwahyukan kepada beliau. Disamping itu secara fithri, ijtihad Rasul tidak memerlukan Ushul atau kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai istinbat dan ijtihad. Begitu pula dengan para sahabat, mereka memberikan fatwa hokum dan memutuskan suatu keputusan berdasarkan nash-nash yang dipahami lantaran kemampuan potensial mereka dibidang bahasa arab yang benar, tanpa memerlukan kaidah-kaidah bahasa yang dapat dijadikan sebagai dasar pemahaman nash. Para sahabat juga melakukan istinbat terhadap hukum yang tidak ada nashnya berdasarkan kemampuan potensial mereka dalam membina hokum syari’at Islam yang terpusat di dalam jiwa mereka yang disebabkan akrabnya mereka dengan Rasulullah di dalam pergaulan. Selain itu, para sahabat juga ikut menyaksikan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an dan sebab-sebab dikeluarkannya hadits, serta memahami maksud dan tujuan syari’ (pembuat hokum, yakni Allah) disamping prinsip-prinsip pembentukan hokum Islam.
Namun ketika dunia Islam semakin berkembang luas dengan hasil kemenangan yang diraih, dan bangsa Arab telah banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, sehingga timbul interaksi bahasa lisan dan tulis-menulis, maka beberapa sinonim dan gaya bahasa Arab tercampur dengan bahasa lain. Sebagai akibatnya, naluri bahasa mereka menjadi tidak murni lagi. Maka terjadilah kerancuan dan kemungkinan yang terjadi di dalam cara memahami nash. Sehingga dianggap perlu menyusun batas-batas dan kaidah-kaidah bahasa yang dapat mendukung pemahaman nash, sebagaimana bangsa arab mampu memahami nash sesuai bahasa yang ia gunakan. Penyusunan kaidah itu tidak jauh berbeda dengan penyusunan kaidah-kaidah Nahwu yang dapat membantu kemampuan berbahasa secara baik.
Demikian setelah waktu lama dari awal pembentukan hukum Islam, banyak terjadi perdebatan antara Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu. Banyak juga orang yang hanya berdasarkan keberanian mengeluarkan suatu hujjah yang tidak pantas sebagai hujjah, bahkan menolak hujjah yang sebenarnya. Kondisi ini mendorong peletakan batasan-batasan dan bahasa tentang dalil syar’iyyah dan syarat-syarat atau cara menggunakan dalil-dalil. Seluruh pembahasan tentang penggunaan dalil, batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa ini yang disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
Namun, ilmu tersebut tumbuh dalam kondisi yang sangat sederhana, seperti halnya anak kecil yang baru lahir. Kemudian, secara bertahap ilmu tersebut tumbuh semakin meningkat sehingga mencapai usia 200 tahun. Sejak itu, mulailah ilmu itu berkembang dengan pesatnya, tersebar dan memencar bersama berkembangnya hukum Fiqh, sebab setiap Imam mujtahid , baik Imam yang empat atau yang lainnya, selalu memberi petunjuk dengan dalil hukum yang disertai dengan ilmu Ushul Fiqh dan arahan pengambilan dalil dengan ilmu itu juga. Sedang para mujtahid yang tidak menggunakan cara tersebut, berarti telah membuat hujjah dengan jalan yang menyimpang. Padahal, semua pengambilan dalil dan penggunaan hujjah selalu mengandung kaidah-kaidah Ushul.[5]
Orang pertama yang menghimpun kaidah-kaidah yang berserakan itu, ialah Imam Abu yusuf, seorang pengikut setia imam Abu Hanifah. Hal ini, dikatakan oleh Ibnu Nadim  dalam kitabnya yang bernama Al Fahrasat . Namun sangat disayangkan catatan-catatan tersebut tidak sampai ketangan  kita. Oleh ahli ushul fiqih dianggap yang pertama mengumpulkan dan menyusun ilmu ini adalah Imam Syafi’i dalam kitabnya yang bernama  Ar-Risalah. Dan setelah itu,  muncullah para penulis lain yang melengkapi dan menyempurnakannya seperti Imam Ghazali dalam kitabnya yang bernama Al-Mustasyfa, Al-Amidi dalam kitabnya yang bernama Al-Minhaj yang disyaratkan oleh Asnawi.[6]
Dari kalangan madzhab Hanafi yang terkenal Abu Zaid Al Dabbas dalam kitabnya yang bernama Ushul, Fadhul Islam Al Basdawi dalam kitabnya yang bernama Ushul dan Nasafi dalam kitabnya yang bernama Al Manar. Disamping itu lahirlah pula kitab yang bernama Badi’un Nizam Al Jami Baina Bazdawi wal ‘itisom oleh Muzafaruddin Al Baghdadi Al Hanafi, kitab tahrir oleh kamal bin Humam dan kitab Jam’ul jawani oleh ibnu Subki.
Di abad sekarang ini ada pula beberapa buah kitab yang ditulis oleh beberapa  ulama’, diantaranya kitab Irsyadul Fuhul oleh Syaukani, kitab Ushul Fiqh oleh Hudari Bek, kitab Tahsilul wushul oleh Muhammad Abdurrahman Mahlawi. Dan masih banyak kitab-kitab Ushul Fiqh yang lainya.
D.      PENUTUP
1.    Kesimpulan
a.    Periodisasi embrio ushul fiqih pada masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in
Periode Nabi SAW: para ushuliyyin menyatakan bahwa ushul fiqh itu sendiri bersamaan hadirnya dengan fiqh, yakni sejak zaman Nabi SAW. Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat karena persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang, sedangkan Al-qur’an dan sunnah telah selesai turun seiring dengan wafatnya Nabi SAW. Periode Sahabat Pada masa ini kajian tentang fiqih mulai dirumuskan, yaitu setelah wafatnya Rasulullah SAW. Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang. Periode Tabi’in: Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Alquran dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-Madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas, dan mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
b.    Latar belakang terbentuk dan tumbuh berkembangnya ushul fiqih
. Ilmu ushul Fiqih, lahir sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama Hijriyah memang tidak diperlukan karena keberadaan Rasulullah SAW.  masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan ajaran Alqur’an, Sunnah dan apa yang diwahyukan kepada beliau. Namun ketika dunia Islam semakin berkembang luas dengan hasil kemenangan yang diraih, dan bangsa Arab telah banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, sehingga timbul interaksi bahasa lisan dan tulis-menulis, maka beberapa sinonim dan gaya bahasa Arab tercampur dengan bahasa lain. Sebagai akibatnya, naluri bahasa mereka menjadi tidak murni lagi. Demikian setelah waktu lama dari awal pembentukan hukum Islam, banyak terjadi perdebatan antara Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu. Banyak juga orang yang hanya berdasarkan keberanian mengeluarkan suatu hujjah yang tidak pantas sebagai hujjah, bahkan menolak hujjah yang sebenarnya. Kondisi ini mendorong peletakan batasan-batasan dan bahasa tentang dalil syar’iyyah dan syarat-syarat atau cara menggunakan dalil-dalil. Seluruh pembahasan tentang penggunaan dalil, batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa ini yang disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
2.    Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat. Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca demi lebih baiknya penulisan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.














DAFTAR PUSTAKA

Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH. 2011.
Dahlan , Abd. Rahman. Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH. 2011.
Karim A,  Syafi’I, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997.
Wahab, Abdul khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press, 1996.



[1] Abd. Rahman, Dahlan, Ushul Fiqih, Jakarta: AMZAH, 2011, hlm. 20.
[2] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, Jakarta: AMZAH, 2011, hlm. 6.
[3] Abd. Rahman, Dahlan, Ushul Fiqih, 2011, hlm. 20-23.
[4] Abd. Rahman, Dahlan, Ushul Fiqih, hlm. 23-24.
[5] Wahab, Abdul khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press, 1996, hlm. 29-30.
[6]Karim A,  Syafi’I, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997, hlm.  46.

4 komentar :

  1. beberapa motode ushul sudah dipraktekkan pada masa nabi, seperti nasakh, qiyas yang dilakukan oleh nabi, dan pembenaran qiyas sahabat. By: Ushul Fiqih di Masa Nabi SAW

    BalasHapus
  2. artikelnya sangat membantu saya. pas banget dengan mata kuliah saya..ushul fiqih... semoga ilmunya berkah dan bermanfaat tentunya

    BalasHapus
    Balasan
    1. amin...smoga bermanfaat tulisan kami...

      Hapus